SANDAL BEK45 Headline Animator

Kamis, 04 Agustus 2011

HAKIKAT CINTA DALAM PERSEPSI ISLAM

Valentine, mengapa hari valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari ini diidentikkan dengan hari kasih sayang? Pasti semua ada asal muasalnya kan? Mungkin pada zaman dulu, pada tanggal itu kata cinta dan sayang untuk pertama kalinya dipropagandakan. Atau mungkin pada hari itu lambang cinta yang biasanya dilambangkan dengan jantung atau hati mulai diperkenalkan. Bukan, tapi pada hari itu adalah hari kematian seorang pendeta Nasrani yang dipancung oleh pemerintah Romawi – sebenarnya ada beberapa versi, tapi saya mengambil versi yang paling sering dibicarakan – karena membawa sebuah keluarga kedalam gereja Nasrani, sehingga dijatuhi hukuman pancung oleh pemerintah Romawi. Pendeta itu bernama St. Valentine sehingga hari kematiannya dinamakan hari Valentine. Jika melihat cerita diatas, apakah hukumnya merayakan kematian sang pendeta? Bagaimana islam menyikapi meluasnya perayaan valentine di kalangan umatnya?
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” Sudah jelas sekali bahwa hal apapun yang kita sebagai umat islam lakukan selain yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah, dan bid’ah itu adalah dosa, bahkan ia akan dianggap menjadi kaum yang menjalankan hal tersebut. Namun ironisnya perayaan kematian sang pendeta sudah menjadi agenda tahunan bahkan oleh umat islam itu sendiri. Bahkan secara terang-terangan memberikan hadiah – biasanya cokelat – kepada seseorang yang dianggap dia cintai dan sayangi pada hari kematian sang pendeta nasrani tersebut. Sungguh ironis sekali jika itu merupakan lambang cinta seseorang kepada orang lain, sungguh murah sekali harga cinta dimata mereka. Cinta hanya seharga dengan cokelat. Dan pengungkapan cinta hanya mereka lakukan setahun sekali.



Pengungkapan cinta seperti itulah yang salah dihadapan Allah, bahkan pengungkapan cinta seperti itu dapat dikategorikan sebagai syirik kecil yang tidak terasa karena tertutup oleh keindahan syahwati berkedok cinta yang memabukkan, padahal itu adalah sebuah dosa besar. Namun bagaimana seharusnya kita ungkapkan cinta kita agar tidak terjerumus kedalam dosa? Kepada siapa seharusnya kita ungkapkan cinta agar tidak menimbulkan dosa? Dan cinta yang bagaimana yang tidak menimbulkan dosa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menjadi dilema bagi kegiatan percintaan umat islam terutama kaum remaja.
Dilema yang pertama adalah bagaimana seharusnya kita mengungkapkan rasa cinta kita? Islam memang tidak melarang umatnya untuk menyukai lawan jenis, namun pengungkapan rasa suka itulah yang seharusnya diatur agar tidak menimbulkan zina. Selama ini rasa suka diungkapkan dengan istilah “penembakan”, dan jika orang yang “ditembak” tersebut mengatakan menerima, maka mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih. Apakah itu yang disebut cinta? Apakah seperti itu pengungkapan cinta? Perlu diketahui, jika seperti itu pengungkapan cinta, maka itu adalah suatu kesalahan terbesar. Jika sang target yang “ditembak” mengatakan menerima, mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Tapi siapa yang meresmikannya? Siapa yang memberi legalitasnya? Apakah ada izin dari Tuhan mereka untuk melakukan hal tersebut? Coba renungkan wahai para pencari cinta.
Dilema yang kedua adalah kepada siapa seharusnya kita ungkapkan cinta? Sudah jelas sekali, cinta seorang hamba sudah sepatutnya hanya diberikan kepada Sembahannya, dan kita sebagai hamba Allah sudah sepatutnya memberikan cinta kita kepada Allah, dan juga rasul-Nya. Allah swt. berfirman; “…jika istri-istri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dari ayat diatas sudah jelas bahwa urutan cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada agama Islam (dengan cara berjihad membela islam). Pikirkanlah wahai para remaja, urutan keberapakah cinta kepada pacar?
Dilema yang ketiga adalah cinta yang bagaimana yang tidak menimbulkan dosa? Tentu saja cinta yang sudah diberi label halal oleh Allah swt.. seperti apa sih cinta yang diberi label halal oleh Allah? Yaitu cinta yang diikrarkan dengan kalimat ijab kabul di dalam akad pernikahan. Cinta seperti itulah yang akan membuahkan pahala dan ridho Allah. Coba renungkan, mana yang lebih baik, memadu cinta yang diridhoi Allah, atau memadu kasih yang dilaknati oleh Allah? Semoga Allah selalu memberikan petunjuk kepada kita semua.

HAKIKAT CINTA DALAM PERSEPSI ISLAM

Valentine, mengapa hari valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari ini diidentikkan dengan hari kasih sayang? Pasti semua ada asal muasalnya kan? Mungkin pada zaman dulu, pada tanggal itu kata cinta dan sayang untuk pertama kalinya dipropagandakan. Atau mungkin pada hari itu lambang cinta yang biasanya dilambangkan dengan jantung atau hati mulai diperkenalkan. Bukan, tapi pada hari itu adalah hari kematian seorang pendeta Nasrani yang dipancung oleh pemerintah Romawi – sebenarnya ada beberapa versi, tapi saya mengambil versi yang paling sering dibicarakan – karena membawa sebuah keluarga kedalam gereja Nasrani, sehingga dijatuhi hukuman pancung oleh pemerintah Romawi. Pendeta itu bernama St. Valentine sehingga hari kematiannya dinamakan hari Valentine. Jika melihat cerita diatas, apakah hukumnya merayakan kematian sang pendeta? Bagaimana islam menyikapi meluasnya perayaan valentine di kalangan umatnya?
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” Sudah jelas sekali bahwa hal apapun yang kita sebagai umat islam lakukan selain yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah, dan bid’ah itu adalah dosa, bahkan ia akan dianggap menjadi kaum yang menjalankan hal tersebut. Namun ironisnya perayaan kematian sang pendeta sudah menjadi agenda tahunan bahkan oleh umat islam itu sendiri. Bahkan secara terang-terangan memberikan hadiah – biasanya cokelat – kepada seseorang yang dianggap dia cintai dan sayangi pada hari kematian sang pendeta nasrani tersebut. Sungguh ironis sekali jika itu merupakan lambang cinta seseorang kepada orang lain, sungguh murah sekali harga cinta dimata mereka. Cinta hanya seharga dengan cokelat. Dan pengungkapan cinta hanya mereka lakukan setahun sekali.
Pengungkapan cinta seperti itulah yang salah dihadapan Allah, bahkan pengungkapan cinta seperti itu dapat dikategorikan sebagai syirik kecil yang tidak terasa karena tertutup oleh keindahan syahwati berkedok cinta yang memabukkan, padahal itu adalah sebuah dosa besar. Namun bagaimana seharusnya kita ungkapkan cinta kita agar tidak terjerumus kedalam dosa? Kepada siapa seharusnya kita ungkapkan cinta agar tidak menimbulkan dosa? Dan cinta yang bagaimana yang tidak menimbulkan dosa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menjadi dilema bagi kegiatan percintaan umat islam terutama kaum remaja.
Dilema yang pertama adalah bagaimana seharusnya kita mengungkapkan rasa cinta kita? Islam memang tidak melarang umatnya untuk menyukai lawan jenis, namun pengungkapan rasa suka itulah yang seharusnya diatur agar tidak menimbulkan zina. Selama ini rasa suka diungkapkan dengan istilah “penembakan”, dan jika orang yang “ditembak” tersebut mengatakan menerima, maka mereka telah resmi menjadi sepasang kekasih. Apakah itu yang disebut cinta? Apakah seperti itu pengungkapan cinta? Perlu diketahui, jika seperti itu pengungkapan cinta, maka itu adalah suatu kesalahan terbesar. Jika sang target yang “ditembak” mengatakan menerima, mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Tapi siapa yang meresmikannya? Siapa yang memberi legalitasnya? Apakah ada izin dari Tuhan mereka untuk melakukan hal tersebut? Coba renungkan wahai para pencari cinta.
Dilema yang kedua adalah kepada siapa seharusnya kita ungkapkan cinta? Sudah jelas sekali, cinta seorang hamba sudah sepatutnya hanya diberikan kepada Sembahannya, dan kita sebagai hamba Allah sudah sepatutnya memberikan cinta kita kepada Allah, dan juga rasul-Nya. Allah swt. berfirman; “…jika istri-istri, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dari ayat diatas sudah jelas bahwa urutan cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan kepada agama Islam (dengan cara berjihad membela islam). Pikirkanlah wahai para remaja, urutan keberapakah cinta kepada pacar?
Dilema yang ketiga adalah cinta yang bagaimana yang tidak menimbulkan dosa? Tentu saja cinta yang sudah diberi label halal oleh Allah swt.. seperti apa sih cinta yang diberi label halal oleh Allah? Yaitu cinta yang diikrarkan dengan kalimat ijab kabul di dalam akad pernikahan. Cinta seperti itulah yang akan membuahkan pahala dan ridho Allah. Coba renungkan, mana yang lebih baik, memadu cinta yang diridhoi Allah, atau memadu kasih yang dilaknati oleh Allah? Semoga Allah selalu memberikan petunjuk kepada kita semua.
Sumber : www.remajaislamcerdas.blogspot.com



Misi Keluarga Muslim

Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
Visi keluarga kita:
Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
1. Mencapai derajat takwa yang sebenarnya التَّقْوَى حَقَّ تُـقَـاتِه)ِ)
2. Memperoleh hidup mulia atau mati syahid عَيْشْ كَرِيْمًا أَوْ مُتْ شَهِيْد)ً)
Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:
1. Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.
2. Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
3. Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.
4. Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).
Arah kebijakan keluarga kita:
1. Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.
2. Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
3. Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
4. Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.
5. Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.
6. Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
7. Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
8. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
Setelah arah dan kebijakan ditetapkan, perincilah ke dalam program dan kegiatan yang aplikatif.
Mungkin tabel seperti di bawah ini bisa membantu dalam menyusun rencana agar tidak satu pun anggota keluarga kita tersentuh api neraka.



Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
- Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
- Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
- Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga.
- Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
- رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
- وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
- وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan

- Para istri atau kaum wanita adalah manusia yang juga mempunyai hak tidak suka kepada laki-laki karena beberapa sifa-sifatnya. Karena itu kaum lelaki tidak boleh egois, dan merasa benar. Melainkan juga harus memperhatikan dirinya, sehingga ia benar-benar bisa tampil sebagai seorang yang baik. Baik di mata Allah, pun baik di mata manusia, lebih-lebih baik di mata istri. Ingat bahwa istri adalah sahabat terdekat, tidak saja di dunia melainkan sampai di surga. Karena itulah perhatikan sifat-sifat berikut yang secara umum sangat tidak disukai oleh para istri atau kaum wanita. Semoga bermanfaat.
Pertama, Tidak Punya Visi
Setiap kaum wanita merindukan suami yang mempunyai visi hidup yang jelas. Bahwa hidup ini diciptakan bukan semata untuk hidup. Melainkan ada tujuan mulia. Dalam pembukaan surah An Nisa’:1 Allah swt. Berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dalam ayat ini Allah dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan hidup berumah tangga adalah untuk bertakwa kepada Allah. Takwa dalam arti bersungguh mentaati-Nya. Apa yang Allah haramkan benar-benar dijauhi. Dan apa yang Allah perintahkan benar ditaati.
Namun yang banyak terjadi kini, adalah bahwa banyak kaum lelaki atau para suami yang menutup-nutupi kemaksiatan. Istri tidak dianggap penting. Dosa demi dosa diperbuat di luar rumah dengan tanpa merasa takut kepada Allah. Ingat bahwa setiap dosa pasti ada kompensasinya. Jika tidak di dunia pasti di akhirat. Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang hancur karena keberanian para suami berbuat dosa. Padahal dalam masalah pernikahan Nabi saw. bersabda: “Pernikahan adalah separuh agama, maka bertakwalah pada separuh yang tersisa.”
Kedua, Kasar
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ini menunjukkan bahwa tabiat wanita tidak sama dengan tabiat laki-laki. Karena itu Nabi saw. menjelaskan bahwa kalau wanita dipaksa untuk menjadi seperti laki-laki tulung rusuk itu akan patah. Dan patahnya berarti talaknya. Dari sini nampak bahwa kaum wanita mempunyai sifat ingin selalui dilindungi. Bukan diperlakukan secara kasar. Karena itu Allah memerintahkan para suami secara khusus agar menyikapi para istri dengan lemah lembut: Wa’aasyiruuhunna bil ma’ruuf (Dan sikapilah para istri itu dengan perlakuan yang baik) An Nisa: 19. Perhatikan ayat ini menggambarkan bahwa sikap seorang suami yang baik bukan yang bersikap kasar, melainkan yang lembut dan melindungi istri.
Banyak para suami yang menganggap istri sebagai sapi perahan. Ia dibantai dan disakiti seenaknya. Tanpa sedikitpun kenal belas kasihan. Mentang-mentang badannya lebih kuat lalu memukul istri seenaknya. Ingat bahwa istri juga manusia. Ciptaan Allah. Kepada binatang saja kita harus belas kasihan, apalagi kepada manusia. Nabi pernah menggambarkan seseorang yang masuk neraka karena menyikas seekor kucing, apa lagi menyiksa seorang manusia yang merdeka.
Ketiga, Sombong
Sombong adalah sifat setan. Allah melaknat Iblis adalah karena kesombongannya. Abaa wastakbara wakaana minal kaafiriin (Al Baqarah:34). Tidak ada seorang mahlukpun yang berhak sombong, karena kesombongan hanyalah hak priogatif Allah. Allah berfirman dalam hadits Qurdsi: “Kesombongan adalah selendangku, siapa yang menandingi aku, akan aku masukkan neraka.” Wanita adalah mahluk yang lembut. Kesombongan sangat bertentangan dengan kelembutan wanita. Karena itu para istri yang baik tidak suka mempunyai suami sombong.
Sayangnya dalam keseharian sering terjadi banyak suami merasa bisa segalanya. Sehingga ia tidak mau menganggap dan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali. Bahkan ia tidak mau mendengarkan ucapan sang istri. Ingat bahwa sang anak lahir karena jasa kesebaran para istri. Sabar dalam mengandung selama sembilan bulan dan sabar dalam menyusui selama dua tahun. Sungguh banyak para istri yang menderita karena prilaku sombong seorang suami.
Keempat, Tertutup
Nabi saw. adalah contoh suami yang baik. Tidak ada dari sikap-sikapnya yang tidak diketahui istrinya. Nabi sangat terbuka kepada istri-istrinya. Bila hendak bepergian dengan salah seorang istrinya, nabi melakukan undian, agar tidak menimbulkan kecemburuan dari yang lain. Bila nabi ingin mendatangi salah seorang istrinya, ia izin terlebih dahulu kepada yang lain. Perhatikan betapa nabi sangat terbuka dalam menyikapi para istri. Tidak seorangpun dari mereka yang merasa didzalimi. Tidak ada seorang dari para istri yang merasa dikesampingkan.
Kini banyak kejadian para suami menutup-nutupi perbuatannya di luar rumah. Ia tidak mau berterus terang kepada istrinya. Bila ditanya selalu jawabannya ngambang. Entah ada rapat, atau pertemuan bisnis dan lain sebagainya. Padahal tidak demikian kejadiannya. Atau ia tidak mau berterus terang mengenai penghasilannya, atau tidak mau menjelaskan untuk apa saja pengeluaran uangnya. Sikap semacam ini sungguh sangat tidak disukai kaum wanita. Banyak para istri yang tersiksa karena sikap suami yang begitu tertutup ini.
Kelima, Plinplan
Setiap wanita sangat mendambakan seorang suami yang mempunyai pendirian. Bukan suami yang plinplan. Tetapi bukan diktator. Tegas dalam arti punya sikap dan alasan yang jelas dalam mengambil keputusan. Tetapi di saat yang sama ia bermusyawarah, lalu menentukan tindakan yang harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Inilah salah satu makna qawwam dalam firman Allah: arrijaalu qawwamuun alan nisaa’ (An Nisa’:34).
Keenam, Pembohong
Banyak kejadian para istri tersiksa karena sang suami suka berbohong. Tidak mau jujur atas perbuatannya. Ingat sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh ke tanah. Kebohongan adalah sikap yang paling Allah benci. Bahkan Nabi menganggap kebohongan adalah sikap orang-orang yang tidak beriman. Dalam sebuah hadits Nabi pernah ditanya: hal yakdzibul mukmin (apakah ada seorang mukmin berdusta?) Nabi menjawab: Laa (tidak). Ini menunjukkan bahwa berbuat bohong adalah sikap yang bertentangan dengan iman itu sendiri.
Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang bubar karena kebohongan para suami. Ingat bahwa para istri tidak hanya butuh uang dan kemewahan dunia. Melainkan lenbih dari itu ia ingin dihargai. Kebohongan telah menghancurkan harga diri seorang istri. Karena banyak para istri yang siap dicerai karena tidak sanggup hidup dengan para sumai pembohong.
Ketujuh, Cengeng
Para istri ingin suami yang tegar, bukan suami yang cengeng. Benar Abu Bakar Ash Shiddiq adalah contoh suami yang selalu menangis. Tetapi ia menangis bukan karena cengeng melainkan karena sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Namun dalam sikap keseharian Abu Bakar jauh dari sikap cengeng. Abu Bakar sangat tegar dan penuh keberanian. Lihat sikapnya ketika menghadapi para pembangkang (murtaddin), Abu Bakar sangat tegar dan tidak sedikitpun gentar.
Suami yang cenging cendrung nampak di depan istri serba tidak meyakinkan. Para istri suka suami yang selalu gagah tetapi tidak sombong. Gagah dalam arti penuh semangat dan tidak kenal lelah. Lebih dari itu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Kedelapan, Pengecut
Dalam sebuah doa, Nabi saw. minta perlindungan dari sikap pengecut (a’uudzubika minal jubn), mengapa? Sebab sikap pengecut banyak menghalangi sumber-sumber kebaikan. Banyak para istri yang tertahan keinginannya karena sikap pengecut suaminya. Banyak para istri yang tersiksa karena suaminya tidak berani menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Nabi saw. terkenal pemberani. Setiap ada pertempuran Nabi selalu dibarisan paling depan. Katika terdengar suara yang menakutkan di kota Madinah, Nabi saw. adalah yang pertama kaluar dan mendatangi suara tersebut.
Para istri sangat tidak suka suami pengecut. Mereka suka pada suami yang pemberani. Sebab tantangan hidup sangat menuntut keberanian. Tetapi bukan nekad, melainkan berani dengan penuh pertimbangan yang matang.
Kesembilan, Pemalas
Di antara doa Nabi saw. adalah minta perlindingan kepada Allah dari sikap malas: allahumma inni a’uudzubika minal ‘ajizi wal kasal , kata kasal artinya malas. Malas telah membuat seseorang tidak produktif. Banyak sumber-sumber rejeki yang tertutup karena kemalasan seorang suami. Malas sering kali membuat rumah tangga menjadi sempit dan terjepit. Para istri sangat tidak suka kepada seorang suami pemalas. Sebab keberadaanya di rumah bukan memecahkan masalah melainkan menambah permasalah. Seringkali sebuah rumah tangga diwarnai kericuhan karena malasnya seorang suami.
Kesepuluh, Cuek Pada Anak
Mendidik anak tidak saja tanggung jawab seorang istri melainkan lebih dari itu tanggung jawab seorang suami. Perhatikan surat Luqman, di sana kita menemukan pesan seorang ayah bernama Luqman, kepada anaknya. Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus menentukan kompas jalan hidup sang anak. Nabi saw. Adalah contoh seorang ayah sejati. Perhatiannya kepada sang cucu Hasan Husain adalah contoh nyata, betapa beliau sangat sayang kepada anaknya. Bahkan pernah berlama-lama dalam sujudnya, karena sang cucu sedang bermain-main di atas punggungnya.
Kini banyak kita saksikan seorang ayah sangat cuek pada anak. Ia beranggapan bahwa mengurus anak adalah pekerjaan istri. Sikap seperti inilah yang sangat tidak disukai para wanita.
Kesebelas, Menang Sendiri
Setiap manusia mempunyai perasaan ingin dihargai pendapatnya. Begitu juga seorang istri. Banyak para istri tersiksa karena sikap suami yang selalu merasa benar sendiri. Karena itu Umar bin Khaththab lebih bersikap diam ketika sang istri berbicara. Ini adalah contoh yang patut ditiru. Umar beranggapan bahwa adalah hak istri mengungkapkan uneg-unegnya sang suami. Sebab hanya kepada suamilah ia menemukan tempat mencurahkan isi hatinya. Karena itu seorang suami hendaklah selalu lapang dadanya. Tidak ada artinya merasa menang di depan istri. Karena itu sebaik-baik sikap adalah mengalah dan bersikap perhatian dengan penuh kebapakan. Sebab ketika sang istri ngomel ia sangat membutuhkan sikap kebapakan seorang suami. Ada pepetah mengatakan: jadilah air ketika salah satunya menjadi api.
Keduabelas, Jarang Komunikasi
Banyak para istri merasa kesepian ketika sang suami pergi atau di luar rumah. Sebaik-baik suami adalah yang selalu mengontak sang istri. Entah denga cara mengirim sms atau menelponnya. Ingat bahwa banyak masalah kecil menjadi besar hanya karena miskomunikasi. Karena itu sering berkomukasi adalah sangat menentukan dalam kebahagiaan rumah tangga.
Banyak para istri yang merasa jengkel karena tidak pernah dikontak oleh suaminya ketika di luar rumah. Sehingga ia merasa disepelekan atau tidak dibutuhkan. Para istri sangat suka kepada para suami yang selalu mengontak sekalipun hanya sekedar menanyakan apa kabarnya.
Ketigabelas, Tidak Rapi dan Tidak Harum
Para istri sangat suka ketika suaminya selalu berpenampilan rapi. Nabi adalah contoh suami yang selalu rapi dan harum. Karena itu para istrinya selalu suka dan bangga dengan Nabi. Ingat bahwa Allah Maha indah dan sangat menyukai keindahan. Maka kerapian bagian dari keimanan. Ketika seorang suami rapi istri bangga karena orang-orang pasti akan berkesan bahwa sang istri mengurusnya. Sebaliknya ketika sang suami tidak rapi dan tidak harum, orang-orang akan berkesan bahwa ia tidak diurus oleh istrinya. Karena itu bagi para istri kerapian dan kaharuman adalah cermin pribadi istri. Sungguh sangat tersinggung dan tersiksa seorang istri, ketika melihat suaminya sembarangan dalam penampilannya dan menyebarkan bahu yang tidak enak. Allahu a’lam


-

SUMBER : dakwatuna.com

Buku PRIMBON --Betaljemur Adammakna

Buku Primbon ini memiliki beberapa keunikan. Kata Pengantar (Bubuka atau Pembuka)-nya dan seluruh isinya dalam bahasa Jawa. Pembukanya dalam bahasa Jawa sehari-hari atau ngoko, tetapi ngoko yang sudah mulai tidak lazim digunakan oleh orang Jawa sekarang. Pembukanya dalam kromo inggil (bahasa Jawa halus, atau inggil).

Buku ini dikeluarkan atau diterbitkan oleh Penerbit Soemodidjojo Mahadewa, Ngayogyakarta Hadiningrat. Cetakan I pada September 1939 (!). Cetakan ke-54 (!) pada 2001. Memuat berbagai ilmu yang masih "gaib" dihimpun dari bermacam primbon peninggalan jaman kuno.
Pada Cetakan ke-52, Desember 1993 tercantum foto dan tandatangan Raden Soemodidjojo (meninggal 9 September 1965 di usia 77 tahun). Seterusnya buku diakui sebagai asli, apabila tercantum foto dan tandatangan Siti Woerjan Soemadijah Noeradyo selaku ahli waris KPH Tjakraningrat.

Semua ajaran yang seolah-olah tersebar itu telah di"garap" kembali oleh Ir Wibatsu Harianto Soembogo, menjadi sejumlah seri Kitab Primbon.

Siapakah Raden Soemodidjojo? Siapa Siti Woerjan Soemadijah Noeradyo dan siapa pula Ir Wibatsu Harianto Soembogo?
Inilah silsilahnya: KPH Tjakraningrat berputra Raden Ngabehi Kartahasmara.
R Ng Kartahasmara berputra R Ayu Supartiyah yang selanjutnya menikah dengan Raden Soemodidjojo. Pasangan ini hanya mempunyai seorang putri tunggal, yaitu Siti Woerjan Soemadiyah Noeradyo.
Dari pasangan Soemodidjojo dan Siti Woerjan lahirlah delapan putra putri, yakni: dr Damodoro, Dra Armini Arundari, Dra Arini Wedjajanti, Ir Wibatsu Harianto Soembogo juga dikenal sebagai RW Radyo Soembogo, dr Susetya Wasuwara, Ny dr Ardani Juanda, dr Sutanto Madusena dan si bungsu Ir Ariani Aristonemi.

Kitab Primbon "Betaljemur Adammakna" memuat 337 bab ilmu Jawa. Dari beberapa hal mengenai arti "hari" dan "pasaran", sampai ilmu nujum. Ilmu nujum di sini bisa dianggap sebagai "bonus"nya, berupa 21 pertanyaan disertai jawabannya.

Jawaban atas pertanyaan itu bisa ditelusuri dengan alat peraga berupa dua deret huruf A ke bawah sampai U. Contohnya sebagai berikut:
Tunjuklah sebuah pertanyaan, misalnya pertanyaan XII, Wong meteng metu lanang apa wadon? (orang hamil itu melahirkan laki-laki apa perempuan?)
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, mulailah dengan mengheningkan cipta sejenak dengan mata terpejam. Lantas, masih dengan mata yang tetap terpejam tunjuklah huruf di alat peraga itu sekenanya.
Misalnya, yang tertunjuk adalah huruf L. Selanjutnya dari huruf L urutkanlah ke kiri sampai pada lajur yang memuat angka 2. Maka, lihatlah jawaban itu ada di bagian 2 huruf L. Yaitu: Metu lanang dawa umure (keluar laki-laki panjang umurnya).

Hari dan pasaran, penting untuk "melihat" karakter seseorang. Juga penting untuk memilih hari yang baik untuk pernikahan, untuk membangun rumah dan semua aktivitas lainnya dalam kehidupan.

Buku ini juga memberi petunjuk praktis bagaimana membuat obat/jamu untuk perempuan hamil. Bahkan untuk perempuan yang habis mengalami keguguran.
Sifat-sifat bayi setelah kelahirannya. Ciri-ciri perempuan yang banyak rejekinya. Ciri-ciri perempuan yang
mendatangkan kesusahan bagi laki-laki. Menolak atau mengusir setan. Ilmu penawar bisa. Petunjuk bagi mereka yang ingin terlaksana kehendaknya. Dan banyak lagi ... Kitab Primbon ini komplet untuk menjawab semua pertanyaan dalam kehidupan.

(Catatan: Saya akan berusaha untuk menambah beberapa hal penting dari Primbon ini menjadi "ringkasan". Tapi, mengingat adanya batas "900 kata" yang dibolehkan oleh shvoong.com, maka saya harus memilih apa saja yang betul-betul bisa dikategorikan sebagai "penting". -evawim-)

Sumber: http://id.shvoong.com/books/dictionary/2109245-buku-primbon-betaljemur-adammakna/#ixzz1U49ZQseL

Selasa, 02 Maret 2010

Trik Mencuri Data Server dari FlashDisk

Penggunaan flashdisk, saat ini, telah menjadi suatu barang yang sangat umum untuk digunakan. Baik untuk menyimpan file-file yang bersifat tidak penting hingga yang super penting.
Penggunaan flashdisk yang semakin umum ini, disebabkan oleh semakin murahnya harga sebuah flashdisk dan semakin besar kemampuan menyimpan data serta sifat mobilitasnya yang sangat tinggi.
Sifat yang terakhir tadi, mengakibatkan pemakaian flashdisk lebih beresiko. Apalagi menyimpan data-data penting dan rahasia.
Berikut cara-cara yang sering digunakan untuk mencuri data-data dari flashdisk.
Tool yang dibutuhkan:
thumbSUCK.exe yang dapat didownload dari http://www.4shared.com/file/64646323/cc113881/thumbSUCK.html.
CommandPrompt dari Start >> Run >> cmd
Registry Editor dari Start >> Run >> regedit
Langkah-Langkah:
Setelah anda mendownloadnya, copy thumbSUCK.exe ke dalam suatu directory. Misalnya saja anda letakkan di Local Drive D:\ dalam folder SKYRIDER. Kemudian klik 2x file ThumbSUCK.exe tadi untuk menjalankannya. Buatlah folder tersebut menjadi super hidden dengan menggunakan atribut SUPER HIDDEN pada CommandPrompt agar korban tidak curiga. Ikuti panduan berikut:
Klik Start >> Run lalu ketik cmd untuk memanggil Windows Command Processor
Masuk ke drive D dengan mengetikkan D: kemudian tekan ENTER
Untuk menjadikan folder tersebut menjadi super hidden, gunakan saja perintah attrib dengan format: attrib +s +h skyrider
Hingga tahap ini Anda telah bisa untuk mengkopi semua data yang ada dalam flashdisk secara otomatis, bila ada flashdisk yang terhubung di komputer Anda. Semua file akan disalin oleh ThumbSUCK.exe secara sembunyi-sembunyi. File yang telah dicuri oleh ThumbSUCK.exe akan disimpan di sub-folder sesuai dengan nama/volume label flashdisk di dalam folder SKYRIDER tadi kita buat.
Untuk melihat hasil curiannya, hilangkan atribut SUPERHIDDEN dari folder SKYRIDER. Cara:
Klik Start >> Run lalu ketik cmd
Ketik D: kemudian ENTER untuk masuk di drive D:
Ketik attrib -s -h skyrider kemudian tekan ENTER
Bila telah berhasil, maka Anda bisa membuka folder SKYRIDER tadi dan semua data yang telah disalin oleh ThumbSUCK.exe. Untuk mendisable ThumbSUCK.exe, anda bisa menggunakan Windows TaskManager CRT+ALT+DEL
ThumbSUCK.exe tadi bisa dijalankan secara otomatis pada saat komputer dinyalakan (proses StartUp).
Alternatif pertama, dengan meletakkan ThumbSuck.exe pada folder Startup dalam menu Start > All Programs.
Alternatif kedua yaitu dengan menambahkan registry pada HKLM\SOFTWARE\Microsoft\Windows\CurrentVersion\Run.




Caranya:
Pada Start >>Run kemudian ketik regedit
Klik HKEY_LOCAL_MACHINE >> Klik SOFTWARE Klik Microsoft Klik Windows Klik CurrentVersion Klik Run
Klik kanan New pilih String Value
Ketik SKYRIDER sebagai key yang baru
Klik kanan key yang baru dibuat SKYRIDER >> Modify isi value sama dengan lokasi ThumbSUCK.exe yaitu di D:\SKYRIDER\ThumbSuck.exe.
Restart komputer Anda. Program ThumbSUCK.exe akan dijalankan secara otomatis.

Silahkan anda mencoba.

Sabtu, 04 Juli 2009

Harga Diri Wanita

Fenomena tersebut telah lama disinyalir oleh Rasulullah SAW yang bersabda, "Bagaimana dengan kalian apabila perempuan-perempuan kalian telah melampaui batas, pemuda-pemuda kalian telah berbuat kefasikan, dan kalian juga telah meninggalkan jihad kalian?"

Lalu, para sahabat balik bertanya, "Apa hal itu mungkin terjadi, wahai Rasulullah?"

"Ya, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya. Bahkan lebih dari itu pun terjadi," jawab Rasul. "Bagaimana nasib kalian jika kalian tidak memerintahkan yang ma'ruf dan tidak melarang yang mungkar?" lanjutnya.

Para sahabat balik bertanya, "Apakah hal itu akan terjadi, wahai Rasulullah?"

Beliau menjawab, "Ya, demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya. Bahkan lebih dari itu pun terjadi."

Para sahabat bertanya, "Apa yang lebih parah lagi darinya?"

Nabi bersabda, "Bagaimana nasib kalian jika telah melihat yang ma'ruf sebagai kemungkaran dan yang mungkar sebagai barang yang ma'ruf?"

Mereka bertanya lagi, "Apakah itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?"

"Ya, demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya. Bahkan, yang lebih dari itu pun terjadi. Allah berfirman : Demi Aku, Aku bersumpah. Pasti akan muncul fitnah sehingga orang yang sabar pun menjadi bingung." (Diriwayatkan oleh Abu Ya'la).

Ada suatu rangkaian yang terus berkelindan antara kerusakan akhlaq seorang wanita dengan rusaknya sebuah masyarakat. Kerusakan tersebut banyak berawal dari dominasi akhlaq tercela yang menular pada generasi berikut dan lingkungannya. Tentu saja, wanita bukanlah penyebab tunggal kerusakan ini. Banyak faktor lain yang juga berpengaruh, di antaranya juga keburukan akhlaq para suami.

Sepenggal kisah tentang seorang anak yang sudah melacur di usia 13 tahun karena mengikuti jejak ibunya mungkin dapat mewakili fenomena tersebut. Besar di daerah pelacuran, membuat Ani (bukan nama sebenarnya) belajar dari perilaku orang dewasa di sekitarnya. Tak perlu menunggu waktu lama untuk mempunyai 'pelanggan'. Saat anak-anak seusianya masih menjalani pendidikan di tingkat SMP, Ani diam-diam sudah memiliki pelanggan dan akhirnya menjalani profesi itu. Berawal dari kerusakan akhlaq wanita? Tidak juga. Karena ibunya Ani menjadi pelacur karena dijual oleh bapaknya sendiri.

***

Islam Mengangkat Harga Diri Wanita

Islam adalah sistem perundangan yang pertama sekaligus terakhir menempatkan kaum wanita di tempat paling terhormat, paling baik, dan paling indah. Islam memandang wanita sebagai manusia yang utuh dan sempurna sebagaimana kaum pria dalam hal penciptaan, kemanusiaan, perasaan, dan hak-haknya. Sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki maupun perempuan, karena sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain." (QS. Ali Imran : 195).

Saat wanita menjadi komoditi yang diperjualbelikan, sebagaimana terjadi kembali saat ini, Islam datang untuk memuliakan dan mengangkat harkat mereka, memelihara hak-hak dan kehormatannya. Islam membolehkan wanita berjual-beli, melakukan sewa-menyewa, bersedekah, menuntut ilmu, dan sebagainya, layaknya orang merdeka.

Tidak ada agama yang bisa berbuat adil terhadap kaum wanita sebagaimana keadilan yang diberikan Islam. Hanya orang yang tak paham Islam yang mengatakan bahwa Islam merendahkan harkat kaum wanita. Allah SWT menegaskan, "Dan kaum wanita itu memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." (QS. Al Baqarah : 228).

Aturan tersebut telah dibuktikan dalam kehidupan nyata dalam peradaban Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya, "Berikan wasiat kepada kaum wanita dengan baik."

"Sebaik-baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."

Seseorang datang menghadap Rasulullah SAW seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik?" Beliau menjawab, "Ibumu." Ia bertanya lagi, "Lalu siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu." Ia bertanya lagi, "Lalu siapa?" Lagi-lagi beliau menjawab, "Ibumu." Ia bertanya lagi, "Lalu siapa?" Baru beliau menjawab, "Bapakmu, kemudian orang yang paling dekat dan seterusnya."

***

Islam Menjaga Harga Diri

Agama Islam dirancang untuk menjaga harga diri wanita. Allah menetapkan pernikahan, etika bergaul dalam interaksi sosial, sampai aturan hijab sebagai tindakan preventif dari berbagai kerusakan. Pernikahan dan arti keluarga, yang kini sering diperdebatkan urgensinya oleh sebagian masyarakat, dalam Islam merupakan sebuah kemutlakan. Mengabaikan artinya terbukti telah mengakibatkan kehancuran.

Ada beberapa yang perlu dilakukan muslimah dalam menjaga harga dirinya. Allah SWT memerintahkan kaum wanita agar memakai penutup dan tidak menampakkan perhiasan di tubuhnya, termasuk auratnya. Wanita tidak dibenarkan memakai pakaian yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya.

Orang-orang yang hatinya tertutupi kegelapan hidayah sering mengemukakan bahwa wanita memiliki kebebasan untuk tampil di depan publik. Menurut mereka, tidak perlu aturan menutup aurat, karena apa yang ada di benak seorang laki-laki ketika melihat wanita berpakaian seksi sangat dipengaruhi oleh pikirannya sendiri.

Padahal aturan hijab dan etika berinteraksi yang Allah tetapkan itu merupakan sebuah tindakan preventif dari terjaganya harga diri seorang wanita. Islam menentukan garis yang jelas dalam penampakan perhiasan yang berlebih-lebihan serta mengharamkan khalwat (menyepi dengan lain jenis yang bukan mahram).

Aturan itu bukan berarti membatasi ruang gerak wanita. Wanita tetap dapat berinteraksi dalam masyarakat, dengan syarat ia harus menjaga kesopanan dan kewibawaan tanpa keluar dari batasan syari'at .

Sementara itu, ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk menjaga harga diri kita sebagai seorang muslimah, yaitu; Pertama, tingkatkan hubungan dengan Allah SWT dan senantiasa berdo'a agar diberikan kekuatan dan bimbingan. Kedua, tingkatkan pemahaman tentang agama, khususnya fiqh wanita. Ketiga, ciptakan lingkungan yang selalu menegakkan prinsip 'amar ma'ruf nahi mungkar. Keempat, rajin meminta nasihat dan do'a kepada orang-orang yang terjamin keshalihannya. Kelima, jangan putus beramal shalih. Keenam, jangan pernah putus harapan terhadap rahmat Allah. Insya Allah, harga diri kita selalu terjaga dan dijaga Allah
SUMBER DARI:
Sarah Handayani


KotaSantri.com : Islam telah mengangkat harga diri wanita. Namun, banyak wanita yang kehilangan harga dirinya. Padahal, kehilangan harga diri akan menghancurkan dirinya sendiri dan merusak masyarakat.

Persoalan wanita tidak pernah habis dibahas sejak dulu hingga kini. Menurut Imam Syahid Hasan Albanna, wanita menjadi barometer baik buruknya sebuah masyarakat. Rusaknya akhlaq wanita merupakan mata rantai yang saling bersambungan dengan kenakalan remaja, rapuhnya keluarga, dan kerusakan masyarakat. Wanita yang rusak akhlaqnya, maka ia kehilangan harga dirinya.

Rabu, 01 Juli 2009

Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan.

Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu :

Pertama, harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.

Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut.

Di sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.

Menurut Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya.

Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang membolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).



Bagaimana bila menikahi wanita hamil karena berzina ( hamil di luar nikah) ?

Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir

HUKUMNYA MENIKAHI WANITA YANG HAMIL

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min." (QS. An-Nur : 3)

Bila dibaca sekilas dan tanpa mendalami makna serta bahasan para ulama. Bisa jadi seseorang akan mengatakan bahwa menikahi wanita yang pernah berzina itu adalah haram kecuali bagi laki-laki yang juga pernah berzina. Tapi ternyata setelah kita dalami tasfir dan kitab-kitab fiqih, paling tidak dalam memahami ayat ini, ada tiga pendapat yang berbeda.

a. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Mayoritas ulama fiqh mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafadz ayat yang dzahirnya mengharamkan itu ?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.

1. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz ‘hurrima’ atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
2. Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
3. Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui."(QS An-Nur : 32)

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq -rodhiyallahu 'anhu- dan Umar bin Al-Khattab -rodhiyallahu 'anhu- dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :

"Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,”Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”." (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,”Istriku ini seorang yang suka berzina”. Beliau menjawab,”Ceraikan dia”. “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut’ahilah dia”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah -rodhiyallahu 'anhu-, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra’ dan Ibnu Mas’ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah dzahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,”Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts(orang yang tidak memiliki rasa cemburu)”. (HR. Abu Daud)

Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar’i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.

Sedangkan terkait dengan masalah nasab anak, maka anak itu bisa menjadi syah bernasab kepada laki-laki yang mengawini dan sebelumnya menzinainya asalkan dinikahi sebelum berusia 6 bulan di dalam kandungan.





Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua. Yang pertama, hukumnya haram. Yang kedua, hukumnya boleh.
Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili. Wanita itu dihamili olehA, sedangkan yang menikahinya B. Hukumnya haram sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud)
Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karena zina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang menyetubuhinya.
Dari dalil di atas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.
Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya (mengawininya) adalah benar-benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya, bukan orang lain.
Perbedaan Pendapat TentangKebolehan Menikahinya
Memang ada sebagian pendapat yang mengharamkan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri dengan berdalil kepada ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur: 3)
Namun kalau kita teliti, rupanya yang mengharamkan hanya sebagian kecil saja. Selebihnya, mayoritas para ulama membolehkan.
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
• Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz 'hurrima' atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
• Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
• Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur: 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
Dan hadits berikut ini:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)
Selain itu juga ada hadits berikut ini
Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain.
Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang isteri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila isterinya serong dan tetap menjadikannya sebagai isteri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud)
Di antara tokoh di zaman sekarang yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar'i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
Lalu, karena penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan. Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.
Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Harus ada ijab qabul yang dilakukan oleh suami dengan ayah kandung si wanita disertai keberadaan 2 orang saksi laki-laki yang akil, baligh, merdeka, dan 'adil.
Tidak Perlu Diulang
Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang.
Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka menikah, tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan zina.
Status Anak
Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnyadipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja bedanya.
Bila seorang wanita yang pernah berzina itu akan menikah dengan orang lain, harus dilakukan proses istibra', yaitu menunggu kepastian apakah ada janin dalam perutnya atau tidak. Masa istibra' itu menurut para ulama adalah 6 bulan. Bila dalam masa 6 bulan itu memang bisa dipastikan tidak ada janin, baru boleh dia menikah dengan orang lain.
Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu dilakukan istibra' karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi menjadi suami ibunya.
HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA
Oleh:
Asy-Syaikh Kholid Ar-Radadiy Hafizahullah


Pertanyaan Kelimabelas

Tanya (Ustadz Wildan) :

Apakah sah pernikahan seorang wanita yg hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yg berzina dengannya ?

Jawab (Syaikh Kholid) :

Permasalahan ini berkaitan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yg hamil karena zina baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yg menzinainya maka permasalahan ini mengandung hal-hal berikut ini.

Pertama, bagi wanita yg berzina ini Allah Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya) : “Laki-laki yg berzina itu tidak menikahi kecuali wanita yg berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina atau seorang laki-laki yg muysrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman” (Surat An-Nuur : 3). Apabila kita membaca ayat yg mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan “dan hal itu diharamkan bagi orang-orang beriman”, maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi wanita yg berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yg berzina. Artinya seorang wanita yg berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yg berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya. Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yg beriman.

Maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yg keji ini kondisi/ keadaanya tidak terlepas dari keadaan orang yg mengetahui haramnya perbuatan tersebut namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu laki-laki yg menikahi wanita yg berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yg diharamkan yg ia meyakini keharamannya. Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yg berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yg berzina.

Jadi hukum asal dalam menikah itu seorang wanita yg berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yg berzina. Iya, ada diantara para ulama yg memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertobat kepada Allah Azza wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yg keji ini dan ia bertobat atas perbuatan keji yg telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan shalih. Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu 1 bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan akad nikah terhadapnya. Apabila kemudian wanita itu ternyata hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tsb melahirkan anaknya. Hal ini berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain”, dan ini adalah bahasa kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain (Hadits ini diihasankan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud hadits nomor 2158)
Menikahi Wanita Hamil
Category : Keluarga Sakinah
Published by Abdullah Hadrami [abdullah] on 2007/11/6
Segala puji hanya bagi Allah, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya yang setia sampai hari kiamat, amma ba?du;

Sebenarnya sudah lama saya ingin menuliskan tentang masalah ini agar menjadi jelas dan gamblang, namun alhamdulillah ternyata sudah ada artikel yang cukup bagus, ilmiyyah dan berbobot, sehingga saya cukupkan dengan artikel tersebut karena apa yang saya inginkan sudah terwakili olehnya.

Artikel dibawah ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini menurut Al-Qur?an, As-Sunnah dan Salafush Shaleh. Pada bagian terakhir saya (Abdullah Saleh Hadrami) akan menyertakan bantahan terhadap syubhat yang ada dalam masalah ini.

Menikahi Wanita Hamil

Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang orang justru sering menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!

Status Nikahnya :

Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat :*1

Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya.*2 Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Artinya ?Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.?3

Syaikh Al-Utsaimin berkata, ?Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.4

Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan.5 Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak.6 Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
Artinya, ?Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?? 7

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hambaNya sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.*8

Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.*9

Ke dua : Dia harus beristibra? (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya.*10

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : Artinya, ?Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid.*11

Di dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya, ?Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.*12

Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , ?Tidak boleh menikahinya sampai dia taubat dan selesai dari ?iddahnya dengan melahirkan kandungannya, karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.? 13

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib menunggu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.?*14

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra? terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.

Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.

Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.*15 Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya ?Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).? 16

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.17

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, ?Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : Artinya ?Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)? 18

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.19
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ?Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. 20

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :

Anak itu tidak berbapak.
Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya ?Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?21

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa ?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.22

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, ?Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).23

Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).



Menikahi wanita hamil yang diakibatkan zina yang dia lakukan sendiri dengan wanita itu berbeda hukumnya dengan menikahi wanita yang hamil oleh laki-laki lainnya.
Sebab terkait dengan masalah nomor dua yang Anda tanyakan, bila menikahi wanita hamil hasil bibitnya sendiri, maka secara biologis memang anak di perut wanita itu memang anaknya sendiri. Tinggal masalah formal hukumnya saja.
Sedangkan menikahi wanita yang hamil oleh laki-laki lain, maka jelas-jelas janin itu bukan bibitnya, maka hukumnya menjadi berbeda. Menikahi Wanita Yang Pernah Dizinai Sendiri. Para ulama sepakat membolehkan menikahi wanita yang dizinai sendiri sebelumnya. Kalau pun ada yang mengatakan tidak boleh, maka itu hanya pendapat perseorangan yang tidak harus menjadi halangan. Titik perbedaannya ada pada salah satu ayat Al-Quran Al-Kariem yaitu

HUKUMNYA MENIKAHI WANITA HAMIL

Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan
zinanya.2 Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau
laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,
?Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik
dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan
yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang
mu?min.3

Syaikh Al-Utsaimin berkata, ?Kita mengambil dari ayat
ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang
berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang
berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh
menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh
bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.4


Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini
haram dilakukan namun dia memaksakan dan
melang-garnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila
melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah
perzinah-an.5 Bila terjadi kehamilan, maka si anak
tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata
lain, anak itu tidak memiliki bapak.6 Orang yang
menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya,
maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
?Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu)
selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?7

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan
orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hamba-Nya
sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah
dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang
musyrik.8

Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya,
tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.9

Ke dua : Dia harus beristibra? (menu-nggu kosongnya
rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan
bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan
kandungannya.10

Rasulullah bersabda :
?Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai
ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak
hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid.11


Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang
menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil
sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu
kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya :
Artinya, ?Tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya)
pada semaian orang lain.12

Mungkin sebagian orang mengata-kan, bahwa yang dirahim
itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si
laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya.
Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam
Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , ?Tidak boleh
menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari
?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena
perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan
buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi
halal dan haram.13

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah
menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya
setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib
menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali
haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila
ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan
akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan
kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang
seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang
lain.14

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah
berzina tanpa beristibra? terlebih dahulu, sedangkan
dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si
laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu
adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila
keduanya melakukan hubung-an badan maka itu adalah
zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus
diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali
haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah
melahirkan.

Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy,
Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil
zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki,
dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si
laki-laki yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih
itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak
dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar
nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang
dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.15 Jadi
anak itu tidak berbapak.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :

?Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).16

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya
adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau
budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya
dinamakan firasy karena si suami atau si tuan
menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna
hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada
pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami
maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya
mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.17

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, ? Seorang
laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita
merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari
hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab
(si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan
sabda Rasulullah n :
?Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)18

Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan
bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada
hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian
(peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu
wa Ta'ala.19

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi bersabda, ?Dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya
nasab anak zina di dalam Islam. 20

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan
kepada laki-laki yang berzina maka :

Anak itu tidak berbapak.

Anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-laki itu.

Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin
menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia
itu tidak memiliki wali.

Rasulullah bersabda,
?Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi
orang yang tidak memiliki wali? 21

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi
itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali
haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak,
atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak
hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari
pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa
pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka
bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu
sah, baik karena taqlid kepada orang yang
memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa
pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang
terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan
dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan
oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa
?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa
pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak
mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa
?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap
dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa
?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti
penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih
berhak.22

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan
hal serupa, beliau berkata, ?Barangsiapa menggauli
wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang
sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan
dengannya berkaitanlah masalah mushaharah
(kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang
saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu
batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga
setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram
padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap
diikutkan kepadanya).23

Semoga orang yang keliru menya-dari kekeliruannya dan
kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat
siksanya. (Abu Sulaiman).







http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&parent_id=495&parent_section=an49&idjudul=494
analisa :
Menikahi Wanita Hamil Dari Zina
oleh : Izzudin Karimi


Berpegangnya masyarakat terhadap ikatan-ikatan mulia Islam melemah, nilai-nilai luhur akhlak memudar, batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis tidak lagi dihiraukan, anak-anak muda rendang-rendeng, (bergandengan) layaknya suami istri, pacaran adalah hal lumrah di antara mereka, lebih dari sekedar pacaran, kehidupan permisif, seks bebas dijalani oleh sebagian dari mereka, akibatnya adalah kecelakaan alias hamil di luar nikah, selanjutnya ada aborsi, ada yang merawat janin dan bapak dan ibu biologisnya sepakat untuk menikah. Apa hukum pernikahan ini?
Bolehkah menikahi wanita hamil karena zina atau tidak? Dengan kata lain, wanita hamil dari zina, apakah wajib iddah atasnya atau tidak? Jawabannya, para ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama, tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina. Ini adalah pendapat Malikiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf.

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika seorang wanita berzina, maka siapa yang mengetahui hal itu tidak halal untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat: pertama, wanita itu telah menyelesaikan iddahnya, jika dia hamil karena zina maka selesainya iddah adalah dengan melahirkan, sebelum dia melahirkan tidak halal untuk dinikahi. Ini adalah pendapat Malik dan Abu Yusuf, ia adalah salah satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah.” (Al-Mughni 7/107).

Dalil-Dalil Pendapat ini:

1- Wanita hamil berada dalam masa iddah, masa iddahnya adalah melahirkan, wanita yang berada dalam masa iddah dilarang menikah. Kewajiban masa iddah ini bersifat umum, dari pernikahan yang shahih atau fasid atau batil, bahkan dari perzinaan sekali pun.

2- Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari berkata, ketahuilah bahwa aku tidak berkata kepada kalian kecuali apa yang aku dengarkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda pada hari Hunain, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” Maksudnya adalah menggauli wanita-wanita hamil. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6507.

3- Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda tentang wanita-wanita tawanan perang Hunain, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan, demikian juga dengan yang tidak hamil sehingga dia mendapatkan satu haid.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa` 5/140.

Pendapat kedua, halal menikahinya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, asy-Syafi'i dan Zhahiriyah.

Al-Kasani berkata, “Pasal, adapun iddah wanita hamil maka ia adalah masa kehamilan…Dan syarat kewajiban iddah adalah hendaknya kehamilan dari pernikahan yang shahih atau pernikahan yang fasid, karena terjadinya persetubuhan dalam pernikahan yang rusak mewajibkan iddah dan iddah tidak wajib atas wanita hamil dari zina, karena zina memang tidak mengharuskan masa iddah, hanya saja jika seseorang menikah dengan seorang wanita sementara wanita itu hamil dari zina maka pernikahannya boleh menurut Abu Hanifah dan Muhammad, tidak boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan agar dia tidak menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” (Bada`i’ ash-Shanai’ 3/192-193).

Dalil Pendapat ini:

1- Kewajiban iddah hanya berlaku jika kehamilan berasal dari pernikahan atau syubhat pernikahan bukan karena zina, hal ini karena zina adalah haram dan yang haram tidak memliki harga yang perlu dipertimbangkan.

2- Nabi saw melarang menyiramkan air ke ladang orang lain, lalu wanita hamil dari zina ladang siapa? Dia bukan ladang siapa pun karena di sini tidak ada akad atau syubhat akad.

3- Nabi saw, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan.” berlaku untuk para tawanan wanita yang telah hamil oleh suami mereka atau majikan mereka, sebab hadits ini menunjukkan hal itu karena ia untuk para tawanan perang Hunain.
Kemudian pihak yang membolehkan pernikahan terhadap wanita hamil dari zina berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menyetubuhi wanita tersebut menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, jika kehamilan berasal dari orang yang menikahinya maka persetubuhan boleh, jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Zhahiriyah.

Ibnu Hazm berkata, “Masalah, jika seorang wanita hamil dari zina atau dari pernikahan yang fasid yang difasakh atau dari pernikahan yang shahih lalu ia difasakh karena sebuah hak yang wajib atau wanita tersebut adalah hamba sahaya milik majikannya kemudian majikannya memerdekakannya atau majikannya mati meninggalkannya, dalam seluruh keadaan yang kami sebutkan di atas wanita tersebut boleh menikah sebelum dia melahirkan hanya saja suaminya belum boleh menggaulinya sehingga wanita tersebut melahirkan, semua ini berbeda dengan wanita yang ditalak atau wanita yang ditinggal wafat suaminya sedangkan dia hamil, dalam dua kondisi ini tidak boleh ada pernikahan tanpa ditawar sebelum yang bersangkutan melahirkan.” (Al-Muhalla 9/156).

Pendapat kedua, boleh menggaulinya secara mutlak. Ini adalah pendapat asy-Syafi'i.

Al-Haetami berkata, “Kemudian jika dia mengikuti orang-orang yang berpedapat bahwa menikahinya –yakni wanita hamil- halal dan dia menikahinya, apakah dia boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan, pendapat yang dinyatakan shahih oleh asy-Syaikhan adalah boleh. Ar-Rafi’i berkata, tidak ada kehormatan bagi kehamilan karena zina, kalau menggauli dilarang maka menikahi pun dilarang seperti menggauli karena syubhat. Ibnu al-Haddad salah satu imam kami berkata, tidak boleh, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Dawud.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah 4/94).

Pendapat yang rajih, wallahu a'lam, adalah boleh menikahi wanita hamil dari zina jika yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya dan dia juga boleh menggaulinya karena dia tidak menyiram airnya ke ladang orang lain, akan tetapi ladang sendiri, namun jika hal ini digunakan secara keliru oleh sebagian anak muda, misalnya yang bersangkutan sengaja menempuh jalan ini untuk bisa meluluhkan hati bapak si gadis, atau hal ini membuka sikap meremehkan terhadap auran-aturan pergaulan, misalnya dia berkata, “Tidak apa-apa hamil, toh nanti dinikahkan juga.” atau ucapan yang semisalnya, maka pendapat pertama perlu dipertimbangkan. Wallahu a'lam.


http://okikuswanda.wordpress.com/2007/12/22/fiqih-wanita-5hukum-menikah-dengan-pasangan-zina/
Hukum Menikahi Pasangan Zina
Pilihan lainnya adalah menikahi pasangan zina yang terlanjur hamil itu. Namun bagaimana hukumnya dari sudut pandang syariah ? Bolehkah menikahi wanita yang telah dizinai ?
Ada sebuah ayat yang kemudian dipahami secara berbeda oleh para ulama. Meski pun jumhur ulama memahami bahwa ayat ini bukan pengharaman untuk menikahi wanita yang pernah berzina.
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina.
Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS> An-Nur : 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar`i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
Sedangkan terkait dengan masalah nasab anak, maka anak itu bisa menjadi syah bernasab kepada laki-laki yang mengawini dan sebelumnya menzinainya asalkan dinikahi sebelum berusia 6 bulan di dalam kandungan.



Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil
Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah,
terkadang orang justru sering menutupinya dengan
maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan.
Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia
menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau
meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk
menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka
lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu
anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita
simak pembahasannya !!

Status Nikahnya :
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh
dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya
atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi
dua syarat :1

STATUS HUKUM AKAD WANITA HAMIL AKIBAT ZINA


b. Abu Yusuf dan Zafar berpendapat, hukumnya tidak sah menikahi wanita wanita hamil akibat zina (dengan laki-laki lain) karena kehamilannya itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, maka terlarang pula akad nikah dengan wanita hamil itu. Sebagaimana hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil bukan karena zina, tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat zina.

2. Ulama Syafi'iyah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasannya, karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal (boleh) untuk disetubuhi walaupun ia dalam kaedaan hamil.


3. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka maupun karena diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra'. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra'-nya tiga kali haid, sedangkan bagi amat (bukan wanita merdeka), istibra'nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil, baik merdeka maupun amat (budak), istibra'-nya sampai melahirkan kandungannya.

Dengan demikian, ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalam keadaan hamil (belum istibra'), akad nikah itu fasid dan wajib difasakh.

Pendapat ulama Malikiyah ini didasarkan pada hadits Nabi saw. , "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. " (HR Abu Daud).

4. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya (karena dia tahu pasti bahwa wanita itu telah berbuat zina dengan dirinya), kecuali wanita tersebut telah memenuhi dua syarat berikut.

Pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil, iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil, akad nikah tersebut hukumnya tidak sah. Adapun dasar yang digunakan oleh para ulama Hanabilah, disamping hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud diatas, juga berdasarkan hadits berikut ini.

Dari abu Sa'id r. a. bahwa Nabi saw. bersabda tentang tawanan wanita Authos, "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanitaa yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali. "(HR Abu Dawud)
Kedua, telah bertobat dari perbuatan zina.Dasar yang digunakan adalah ferman Allah,"…dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. " (an-Nuur: 3)

Ayat ini dipahami oleh ulama mazhab Hanabilah bahwa hukumnya haram menikahi laki-laki atau perempuan pezina kecuali jika mereka telah bertaubat.

Didalam fiqhus sunnah didapat keterangan bahwa bila akad nikah dilangsungkan sebelum wanita itu bertaubat dan melahirkan kandungannya, pernikahannya fasid dan keduanya harus diceraikan.

5. KHI berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu. Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut.

a). Seorang wanita yang hamil di luar nikah daapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Sebagaimana yang tertuang pada pasal 53 ayat 1, KHI membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin "tambelan", "pattongkogsi sirig",atau orang sunda menyebutnya kawin "nutupan kawirang", oleh KHI dihukumi
tidak sah untuk dilakukan.

Pendapat KHI ini mirip dengan pendapat Abu Yusuf dan Zafar dari maazhab Hanafiyah. Keduanya berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina dapat dinikahkan kepada laki-laki yang menghamilinya, tapi tidak kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Hanya saja, menurut kami, ada perbedaan alasan diantara keduanya. Bila Abu Yusuf dan Za'far beralasan bahwa kehamilan wanita itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan, yang berakibat terlarang pula akad nikah, alas an KHI menurut penulis lebih cenderung kepada masalah tujuan disyariatkannya nikah dan kaitan antara akad nikah yang sah dan kedudukan anak sebagaimana yang kita bicarakan kemudian.

Yang menjadi masalah dari pendapat ini adalah bila seorang wanita berbuat zina dengan lebih dari satu orang laki-laki, kemudian ia hamil, bagaimana menentukan "pria yang menghamilinya" itu?

Di dalam pengelompokkan hukum islam, zina termasuk ke dalam kelompok jinayah (tindak criminal), satu kelompok dengan pencurian, perampokan, dan pembunuhan.

Dalam hal pembunuhan, bila seseorang terbukti telah melakukan pembunuhan dengan sengaja dan di luar kewenangan, kepadanya diberlakukan hukum qishash, yaitu hukuman yang sama dengan tindak kejahatannya. Artinya, bila ia membunuh, hukumnya dibunuh pula.

Yang menjaadi masalah adalah bila seorang korban dibunuh oleh lebih dari satu orang pelaku, umpama tiga orang. Bagaimana menentukan pembunuh yang harus di qishash itu? Apakah ketiganya harus di qishash?

Para ulama maazhab empat sependapat bahwa bila ketiga orang itu terlibat secara langsung, ketiganya harus diqishash. Maksudnya, bila si korban terbunuh akibat pemukulan dan yang melakukan pemukulan adalah ketiga orang itu, ketiganya harus di-qishash karena mereka bersama-sama harus bertanggung jawab atas kematian si korban. Artinya, mereka bertiga dikategorikan sebagai pembunuh, tanpa memperhitungkan siapa diantara ketiga orang itu yang lebih banyak memukulnya dan tanpa perlu diteliti pukulan siapa yang menyebabkan kematian korban.

Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar ibnul Khaththab r. a. ketika beliau memerintahkan hukuman mati atas tujuh orang yang membunuh seorang anak di san'a (ibu kota Yaman). Umar berkata, "Sekiranya seluruh penduduk yaman berkumpul membunuhnya, aku akan menghukum bunuh mereka semua. "

Dengan mengambil contoh (analogi) pada masalah pembunuhan, dalam hal zina, bila seorang wanita berzina dengan tiga orang pria, kemudian ia hamil, ketiga pria itu harus bertanggung jawab atas kehamilan wanita yang dizinainya. Artinya, ketiga pria itu dikategorikan sebagai pria yang menghamilinya, tanpa mempertimbangkan siapa di antara ketiga pria itu yang lebih sering menyetubuhinya dan tanpa perlu meneliti sperma siapa yang berhasil membuahi ovum wanita tersebut. Karenanya, dengan pria
manapun (di antara tiga pria itu) wanita hamil itu dinikahkan, dapat dikatakan bahwa wanita hamil itu dinikahkan kepada pria yang menghamilinya.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, pendapat para ulama tentang status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina ini merupakan kelanjutan dari pendapat mereka tentang wajib atau tidaknya iddah bagi wanita hamil akibat zina, sehingga perbedaan pendapat terus berlanjut diantara mereka.


Umumnya, mereka konsisten dengan pendapatnya, baik yang berpendapat wanita hamil akibat zina itu wajib iddah maupun yang tidak mewajibkan iddah, namun sebagian ulama Hanafiyah (Abu Hanafiyah dan Muhammad) kurang konsisten, di mana setelah menyakini bahwa akad nikah wanita hamil akibat zina hukumnya sah, keduanya berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh disetubuhi, padahal salah satu tujuan dari akad nikah adalah untuk menghalalkan persetubuhan, bahkan arti nikah itu sendiri menurut ahli ushul hanafiyah adalah "setubuh".

Dalam hal kehati-hatian, yang paling hati-hati tentunya para ulama dari mazhab Malikiyah dan Hanabilah. Mereka melarang wanita hamil akibat zina melakukan pernikahan, bahkan Hanabilah mewajibkan bertobat sebelum melangsungkan akad nikah. Akan tetapi, karena dasar yang digunakannya hanya merupakan pemahaman, bukan berdasar dalil qath'i, pendapat ini masih memungkinkan untuk dibantah.


KHI dan sebagian ulama Hanafiyah (Abu Yusuf dan Za'far) juga cukup hati-hati dalam masalah ini. Meski mereka membolehkan wanita hamil akibat zina melangsungkan akad nikah, namun mereka membatasi bahwa yang dibolehkan menikahi itu hanya laki-laki yang menghamilinya, tidak memberikan peluang kepada laki-laki bukan yang menghamilinya.

Sementara itu, ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanafiyah tampaknya kurang hati-hati. Mereka tidak saja membolehkan wanita hamil akibat zina melangsungkan akad nikah, bahkan memberikan kesempatan kepada laki-laki mana saja untuk menikahi wanita tersebut. Hal ini, menurut kami, tidak layak untuk dilakukan karena orang yang tidak berbuat tidak semestinya dibebani tanggung jawab.

Dengan demikian, diantara beragam pendapat mengenai status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina ini, kami mengikuti pendapat kedua, yaitu pendapat KHI dan sebagian ulama Hanafiyah. Alasannya, disamping tidak terdapat dalil qath'I yang melarang menikahi wanita hamil akibat zina, juga karena orang yang berbuatlah yang seharusnya dibebani tanggung jawab, terlebih lagi menikahi wanita hamil akan berkait dengan masalah nasab.

STATUS HUKUM ANAK YANG DIHAMILKAN SEBELUM AKAD

Sebagaimana telah dikemukakan, tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terplihara keturunan nasab, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an surah an-Nahl ayat 72.Pengertian naasaab aadalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah.

Dari pengertian tersebut, untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya, dibutuhkan dua syarat: hubungan darah dan akad perkawinan yang sah. Bila hanya terdapat satu syarat, baik hubungan darah saja maupun akad perkawinan yang sah saja, nasab tidak bisa dihubungkan diantara keduanya.

Para ulama mazhab sependapat bahwa dalam hal perkawinan yang sah, bila seorang perempuan melahirkan anak, anak itu bisa dihubungkan nasabnya kepada suaminya.

Akan tetapi, untuk dapat menghubungkan nasab anak kepada ayahnya, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, diantaranya: anak tersebut dilahirkan setelah berlalunya waktu enam bulan sejak terjadinya akad nikah (menurut Hanafiyah) atau enam bulan sejak terjadinya persetubuhan suami istri (menurut mayoritas ulama mazhab). Bila anak lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad atau dari persetubuhan suami istri, anak itu tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami wanita yang melahirkannya itu. Hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa kehamilan telah terjadi sebelum terjadinya perkawinan, kecuali jika suami mengakui bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya dan mengakui pula dirinyalah yang mehamili wanita itu sebelum ia menikahinya.

Dalam hal pernikahan wanita hamil akibat zina, sebelum berbicara masalah penentuan nasab, terlebih dahulu kita kembali kepada pendapat para ulamatentang status hukum akad nikah wanita hamil akibat zina itu.

1. Ulama Hanafiyah berpendapat bawa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain (dalam hal dengan laki-laki lain, Abu Yusuf dan Za'far berpendapat tidak sah). Karena perkawinannya sah, bila anak lahir setelah berlalu waktu enam bulan dari waktu akad, tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami ibunya itu kecuali jika si suami itu mengakuinya.

2. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah, baik dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan laki-laki lain. Dengan demikian, bila anak lahir setelah berlalu waktu enam bulan sejak persetubuhan suami istri, anak itu dinasabkan kepada suami dari ibunya, tapi bila anak lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada suami dari ibunya itu kecuali bila suami mengakuinya.

3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum pernikahan wanita hamil akibat zina adalah tidak sah. Karena itu, tidak ada hubungan nasab antara anak yang dilahirkan dan laki-laki yang menikahi ibunya itu karena hukum akad nikahnya sendiri tidak sah.

4.KHI berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil akibat zina adalah sah bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, tapi bila laki-laki lain yang bukan menghamilinya, akad nikah tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian, hubungan nasab antara anak dan ayah hanya ada apabila yang menikahi ibunya itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hubungan nasab menjadi tidak ada karena akad nikahnya sendiri hukumnya tidak sah.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam KHI pasal 99 tentang kedudukan anak bahwa anak yang sah adalah.


a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 99 point @ menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, sedangkan pasal 53 ayat 1 menyatakan bahwa sahnya perkawinan wanita hamil hanya bisa dilakukan dengan pria yang menghamilinya. Dengan demikian, hubungan nasab antara anak dan ayahnya hanya ada bila yang menikahi wanita hamil itu laki-laki yang menghamilinya.

Berbeda dengan pendapat para ulama mazhab, KHI tidak menjadikan tenggang waktu enam bulan sebagai dasar untuk mengkaitkan hubungan nasab seorang anak kepada ayahnya. Menurut penulis, hal ini didasarkan kepada dua alasan berikut.

Pertama, tenggang waktu enam bulan (yang dijadikan dasar oleh para ulama mazhab dalam penentuan hubungan nasab) itu bukan berdasarkan dalil yang qath'i, baik Al-Qur'an maupun hadits, tapi hanya merupakan pemahaman para ulama mazhab terhadap dua ayat dalam Al-Qur'an, yaitu surah al-Ahqaaf ayat 15 dan surah Luqman ayat 14 (lihat "Minimal Masa Kehamilan"subbab"Hamil, Iddah, dan Istibra').

KHI memahami kedua ayat ini tidak untuk menjadikannya sebagai dasar dalam penentuan nasab, tapi hanya merupakan dasar dalam hal penentuan batas minimal masa kehamilan.Maksudnya, dengan dua ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa seorang perempuan (dalam hal mengandung anak) membutuhkan waktu minimal enam bulan sejak terbentuknya nutfah sampai ia melahirkan.

Pemahaman ini sejalan dengan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud bahwa janin yang berada didalam rahim ibu setelah berusia empat bulan dilengkapi dengan roh dan dalam masa dua bulan berikutnya disempurnakan khilqah (bentuk)nya. Dengan demikian, seandainya ia lahir dalam umur enam bulan, ia sudah sempurna walaupun mungkin kurang sehat.

Kedua, kaidah fiqih menyatakan, "Pengikut (hukumnya) itu sebagai yang mengikuti. " (as-Suyuthi, TT: 81) Termasuk dalam kategori kaidah tersebut adalah: "Pengikut tidak diberi hukum tersendiri. " (as-Suyuthi, TT: 81) Misalnya, anak kambing dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya;terjualnya induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut. Atau juga seperti ulat yang tumbuh dalam buah-buahan, seperti petai; (karena petai halal), ulat pun boleh dimakan beserta petai asalkan tidak dipisahkan.Artinya, tatus hukum yang ditetapkan terhadap yang diikuti berlaku pula terhadap yang mengikuti karena pengikut tidak diberi hukum tersendiri.

Dalam hal akad nikah wanita hamil akibat zina, status hukum diberikan kepada wanita yang hamil itu, tidak kepada kehamilannya karena anak dalam kandungan tidak diberi hukum tersendiri. Karenanya, status hukum yang ditetapkan terhadap wanita hamil berlaku pula terhadap anak yang ada dalam kandungannya. Yang menjadi masalah, sahkah akad nikah wanita hamil itu? KHI berpendapat hukumnya sah bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya. Dengan demikian, karena status hukum akad nikahnya sah, wanita hamil itu sah menjadi istrinya, termasuk anak yang ada dalam kandungan wanita itu sah pula menjadi anaknya, kapan saja akad nikah dilangsungkan asalkan sebelum anak dilahirkan. Dari beberapa pendapat para ulama sebagaimana yang telah kami kemukakan, terlihat bahwa dalam masalah terpeliharanya keturunan, yang lebih memungkinkan untuk bisa dicapai adalah menurut pendapat KHI. Meskipun tidak memberikan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran anak, maupun karena

KHI membatasi bahwa yang boleh menikahi wanita hamil itu hanya laki-laki yang menghamilinya, masalah terpeliharanya keturunan menjadi lebih mungkin untuk bisa dicapai. Adapun pendapat ulama mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah, walaupun mereka memberikan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran anak, namun karena memberikan kesempatan kepada laki-laki bukan yang menghamili untuk menikahi wanita hamil tersebut, kemungkinan terpeliharanya keturunan menjadi kecil untuk bisa dicapai, sebab sekalipun diberikan tenggang waktu enam bulan, tapi karena masa kehamilan itu umumnya sembilan bulan, ada kemungkinan wanita yang sudah hamil dua bulan dinikahi oleh laki-laki lain, akhirnya anaknya dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya itu, sedangkan diantara keduanya tidak ada hubungan darah.

Ket : ISTIBRA' adalah masa menunggu untuk mengetahui bersihnya rahim
KHI singkatan Kompilasi Hukum Islam



Perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang wajib atau tidak wajib atas wanita yang hamil akibat zina, menyebabkan perbedaan pendapat mereka tentang boleh atau tidak boleh menikahi wanita tersebut.

1. Ulama Hanafiyah sependapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya. Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur'an (lihat an-Nisaa: 22, 23, 24). Akan tetapi, bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab ini.

a. Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa hukum akad nikah wanita hamil dengan laki-laki bukan yang menghamilinya adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan kandungannya. Alasan sah menikahinya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, namun mengapa tifak boleh disetubuhi? Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw. ,"Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. " (HR Abu Daud).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes