SANDAL BEK45 Headline Animator

Rabu, 01 Juli 2009

HUKUMNYA MENIKAHI WANITA HAMIL

Pertama; Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan
zinanya.2 Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mengharamkan menikah dengan wanita atau
laki-laki yang berzina, Dia Subhanahu wa Ta'ala
berfirman,
?Laki-laki yang berzina tidak mengawini, kecuali
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik
dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan
yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang
mu?min.3

Syaikh Al-Utsaimin berkata, ?Kita mengambil dari ayat
ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang
berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang
berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh
menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh
bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.4


Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini
haram dilakukan namun dia memaksakan dan
melang-garnya, maka pernikahannya tidak sah dan bila
melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah
perzinah-an.5 Bila terjadi kehamilan, maka si anak
tidak dinasabkan kepada laki-laki itu atau dengan kata
lain, anak itu tidak memiliki bapak.6 Orang yang
menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu
bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya,
maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
?Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu)
selain Allah yang mensyari?atkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?7

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan
orang-orang yang membuat syari?at bagi hamba-hamba-Nya
sebagai sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah
dengan wanita pezina sebelum taubat adalah orang
musyrik.8

Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya,
tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.9

Ke dua : Dia harus beristibra? (menu-nggu kosongnya
rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan
bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan
kandungannya.10

Rasulullah bersabda :
?Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai
ia melahir-kan dan (tidak boleh digauli) yang tidak
hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid.11


Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang
menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil
sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu
kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya :
Artinya, ?Tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya)
pada semaian orang lain.12

Mungkin sebagian orang mengata-kan, bahwa yang dirahim
itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si
laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya.
Jawabnya adalah apa yang dikatakan oleh Al Imam
Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , ?Tidak boleh
menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari
?iddahnya dengan melahirkan kandung-annya, karena
perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan
buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi
halal dan haram.13

Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah
menga-takan, ?Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya
setelah dia taubat) ingin menikahinya, maka dia wajib
menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali
haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila
ternyata dia hamil, maka tidak boleh melangsungkan
akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan
kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi yang melarang
seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang
lain.14

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah
berzina tanpa beristibra? terlebih dahulu, sedangkan
dia tahu bahwa pernikahan itu tidak boleh dan si
laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu
adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila
keduanya melakukan hubung-an badan maka itu adalah
zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus
diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali
haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah
melahirkan.

Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy,
Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil
zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki,
dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si
laki-laki yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih
itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak
dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar
nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang
dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.15 Jadi
anak itu tidak berbapak.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah :

?Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).16

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya
adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau
budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya
dinamakan firasy karena si suami atau si tuan
menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna
hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada
pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami
maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya
mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.17

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, ? Seorang
laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita
merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari
hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab
(si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan
sabda Rasulullah n :
?Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)18

Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan
bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada
hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian
(peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu
wa Ta'ala.19

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi bersabda, ?Dan bagi
laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan
penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya
nasab anak zina di dalam Islam. 20

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan
kepada laki-laki yang berzina maka :

Anak itu tidak berbapak.

Anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-laki itu.

Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin
menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia
itu tidak memiliki wali.

Rasulullah bersabda,
?Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi
orang yang tidak memiliki wali? 21

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi
itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali
haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak,
atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak
hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari
pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa
pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka
bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu
sah, baik karena taqlid kepada orang yang
memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa
pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang
terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan
dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan
oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa
?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa
pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak
mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa
?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap
dinisbatkan kepada-nya padahal pernikahan di masa
?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti
penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih
berhak.22

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan
hal serupa, beliau berkata, ?Barangsiapa menggauli
wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang
sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan
dengannya berkaitanlah masalah mushaharah
(kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang
saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu
batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga
setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram
padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap
diikutkan kepadanya).23

Semoga orang yang keliru menya-dari kekeliruannya dan
kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat
siksanya. (Abu Sulaiman).







http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&parent_id=495&parent_section=an49&idjudul=494
analisa :
Menikahi Wanita Hamil Dari Zina
oleh : Izzudin Karimi


Berpegangnya masyarakat terhadap ikatan-ikatan mulia Islam melemah, nilai-nilai luhur akhlak memudar, batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis tidak lagi dihiraukan, anak-anak muda rendang-rendeng, (bergandengan) layaknya suami istri, pacaran adalah hal lumrah di antara mereka, lebih dari sekedar pacaran, kehidupan permisif, seks bebas dijalani oleh sebagian dari mereka, akibatnya adalah kecelakaan alias hamil di luar nikah, selanjutnya ada aborsi, ada yang merawat janin dan bapak dan ibu biologisnya sepakat untuk menikah. Apa hukum pernikahan ini?
Bolehkah menikahi wanita hamil karena zina atau tidak? Dengan kata lain, wanita hamil dari zina, apakah wajib iddah atasnya atau tidak? Jawabannya, para ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama, tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina. Ini adalah pendapat Malikiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf.

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika seorang wanita berzina, maka siapa yang mengetahui hal itu tidak halal untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat: pertama, wanita itu telah menyelesaikan iddahnya, jika dia hamil karena zina maka selesainya iddah adalah dengan melahirkan, sebelum dia melahirkan tidak halal untuk dinikahi. Ini adalah pendapat Malik dan Abu Yusuf, ia adalah salah satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah.” (Al-Mughni 7/107).

Dalil-Dalil Pendapat ini:

1- Wanita hamil berada dalam masa iddah, masa iddahnya adalah melahirkan, wanita yang berada dalam masa iddah dilarang menikah. Kewajiban masa iddah ini bersifat umum, dari pernikahan yang shahih atau fasid atau batil, bahkan dari perzinaan sekali pun.

2- Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari berkata, ketahuilah bahwa aku tidak berkata kepada kalian kecuali apa yang aku dengarkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda pada hari Hunain, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” Maksudnya adalah menggauli wanita-wanita hamil. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6507.

3- Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda tentang wanita-wanita tawanan perang Hunain, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan, demikian juga dengan yang tidak hamil sehingga dia mendapatkan satu haid.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa` 5/140.

Pendapat kedua, halal menikahinya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, asy-Syafi'i dan Zhahiriyah.

Al-Kasani berkata, “Pasal, adapun iddah wanita hamil maka ia adalah masa kehamilan…Dan syarat kewajiban iddah adalah hendaknya kehamilan dari pernikahan yang shahih atau pernikahan yang fasid, karena terjadinya persetubuhan dalam pernikahan yang rusak mewajibkan iddah dan iddah tidak wajib atas wanita hamil dari zina, karena zina memang tidak mengharuskan masa iddah, hanya saja jika seseorang menikah dengan seorang wanita sementara wanita itu hamil dari zina maka pernikahannya boleh menurut Abu Hanifah dan Muhammad, tidak boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan agar dia tidak menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” (Bada`i’ ash-Shanai’ 3/192-193).

Dalil Pendapat ini:

1- Kewajiban iddah hanya berlaku jika kehamilan berasal dari pernikahan atau syubhat pernikahan bukan karena zina, hal ini karena zina adalah haram dan yang haram tidak memliki harga yang perlu dipertimbangkan.

2- Nabi saw melarang menyiramkan air ke ladang orang lain, lalu wanita hamil dari zina ladang siapa? Dia bukan ladang siapa pun karena di sini tidak ada akad atau syubhat akad.

3- Nabi saw, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan.” berlaku untuk para tawanan wanita yang telah hamil oleh suami mereka atau majikan mereka, sebab hadits ini menunjukkan hal itu karena ia untuk para tawanan perang Hunain.
Kemudian pihak yang membolehkan pernikahan terhadap wanita hamil dari zina berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menyetubuhi wanita tersebut menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, jika kehamilan berasal dari orang yang menikahinya maka persetubuhan boleh, jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Zhahiriyah.

Ibnu Hazm berkata, “Masalah, jika seorang wanita hamil dari zina atau dari pernikahan yang fasid yang difasakh atau dari pernikahan yang shahih lalu ia difasakh karena sebuah hak yang wajib atau wanita tersebut adalah hamba sahaya milik majikannya kemudian majikannya memerdekakannya atau majikannya mati meninggalkannya, dalam seluruh keadaan yang kami sebutkan di atas wanita tersebut boleh menikah sebelum dia melahirkan hanya saja suaminya belum boleh menggaulinya sehingga wanita tersebut melahirkan, semua ini berbeda dengan wanita yang ditalak atau wanita yang ditinggal wafat suaminya sedangkan dia hamil, dalam dua kondisi ini tidak boleh ada pernikahan tanpa ditawar sebelum yang bersangkutan melahirkan.” (Al-Muhalla 9/156).

Pendapat kedua, boleh menggaulinya secara mutlak. Ini adalah pendapat asy-Syafi'i.

Al-Haetami berkata, “Kemudian jika dia mengikuti orang-orang yang berpedapat bahwa menikahinya –yakni wanita hamil- halal dan dia menikahinya, apakah dia boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan, pendapat yang dinyatakan shahih oleh asy-Syaikhan adalah boleh. Ar-Rafi’i berkata, tidak ada kehormatan bagi kehamilan karena zina, kalau menggauli dilarang maka menikahi pun dilarang seperti menggauli karena syubhat. Ibnu al-Haddad salah satu imam kami berkata, tidak boleh, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Dawud.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah 4/94).

Pendapat yang rajih, wallahu a'lam, adalah boleh menikahi wanita hamil dari zina jika yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya dan dia juga boleh menggaulinya karena dia tidak menyiram airnya ke ladang orang lain, akan tetapi ladang sendiri, namun jika hal ini digunakan secara keliru oleh sebagian anak muda, misalnya yang bersangkutan sengaja menempuh jalan ini untuk bisa meluluhkan hati bapak si gadis, atau hal ini membuka sikap meremehkan terhadap auran-aturan pergaulan, misalnya dia berkata, “Tidak apa-apa hamil, toh nanti dinikahkan juga.” atau ucapan yang semisalnya, maka pendapat pertama perlu dipertimbangkan. Wallahu a'lam.


http://okikuswanda.wordpress.com/2007/12/22/fiqih-wanita-5hukum-menikah-dengan-pasangan-zina/
Hukum Menikahi Pasangan Zina
Pilihan lainnya adalah menikahi pasangan zina yang terlanjur hamil itu. Namun bagaimana hukumnya dari sudut pandang syariah ? Bolehkah menikahi wanita yang telah dizinai ?
Ada sebuah ayat yang kemudian dipahami secara berbeda oleh para ulama. Meski pun jumhur ulama memahami bahwa ayat ini bukan pengharaman untuk menikahi wanita yang pernah berzina.
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)
Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina.
Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS> An-Nur : 32).
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
3. Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar`i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
Sedangkan terkait dengan masalah nasab anak, maka anak itu bisa menjadi syah bernasab kepada laki-laki yang mengawini dan sebelumnya menzinainya asalkan dinikahi sebelum berusia 6 bulan di dalam kandungan.



Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil
Untuk menghindari aib maksiat hamil di luar nikah,
terkadang orang justru sering menutupinya dengan
maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan.
Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia
menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil atau
meminjam orang untuk menikahi-nya dengan dalih untuk
menutupi aib, nah apakah pernikahan yang mereka
lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu
anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita
simak pembahasannya !!

Status Nikahnya :
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh
dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya
atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi
dua syarat :1

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes